oleh
Kartikha Eka Wardani
Jurusan
Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Fakultas
Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
Siswa-siswi di Summerhill School |
Pendahuluan
Pendidikan merupakan komponen terpenting di dalam
kehidupan manusia. Pendidikan berguna untuk mendewasakan akal dan pikiran tiap
individu sehingga sangat dibutuhkan pada diri manusia. Pentingnya suatu
pendidikan bagi tiap individu ini memacu adanya keberagaman aliran pemikiran
yang mempengaruhi pendidikan sehingga muncullah banyak aliran filsafat
pendidikan.
Penerapan dari tiap aliran filsafat yang beragam tersebut
mempengaruhi sistem dari pendidikan suatu Negara, tergantung pada aliran yang
dipilih. Sistem Pendidikan di Indonesia yang masih terasa kaku dan kurang
fleksibel menjadi suatu masalah tersendiri bagi kemajuan Pendidikan di
Indonesia. Banyaknya pelajaran yang diajarkan di sekolah membuat banyak murid
yang terbebani sehingga melakukan banyak hal untuk mengalihkannya dari beban
tanggungan pelajran tersebut.
Salah satu contoh sekolah yang tidak menitikberatkan pada
banyaknya pelajaran didalam kelas adalah Summerhill School. Seperti tinjauan
yang telah dibuat terhadap komponen pendidikan di Summerhill School itu
sendiri, salah satu komponen penting di dalam pendidikan adalah Siswa. Siswa
merupakan subjek pendidikan yang ikut terlibat di dalam pembelajaran.
Dengan adanya tinjauan tentang Siswa di dalam Summer
School lebih lanjutnya akan dipaparkan mengenai konsepsi mengenai siswa ideal,
keunggulan dan kelemahan siswa di Summerhill School serta Kontekstualitasnya
siswa ideal pada penerapan pendidikan di Indonesia.
Pembahasan
Summerhill School merupakan
sebuah sekolah yang membebaskan. Sekolah ini didirikan oleh Alexander
Sutherland Neill pada tahun 1921 di Jerman dan kemudian dipindahkan ke Inggris.
Di Summerhill siswa-siswinya diperbolehkan untuk hidup sesukanya. Mereka diberi
kebebasan untuk menentukan pilihannya mau mengikuti pelajaran atau mangkir dari
pelajaran tersebut selama tidak mengganggu orang lain. Summerhill menerapkan
sistem asrama yang mewajibkan siswa-siswinya untuk tinggal disana. Sebagian
anak yang tinggal di Summerhill berusia lima tahun, dan sebagian lagi paling
tua berumur dua belas tahun. Mereka umumnya tinggal di Summerhill sampai
menginjak usia enam belas tahun. Dimana pada usia tersebut merupakan fase
pertumbuhan diri tiap individu dari anak-anak ke remaja. Umumnya para pengguhi
Summerhills ini adalah mereka yang berusia anak-anak.
“Dua kata yang
peling pas untuk melukiskan Summerhill adalah anak-anak – A. S. Neill (hal. 41).”
Begitulah kalimat yang dikutip dari buku Summerhill
School-terjemahan. Anak-anak akan dikelompok-kelompokkan menurut usia mereka
dengan satu orang wali asrama untuk setiap kelompok. Umumnya anak-anak yang
berusia muda akan ditempatkan di sebuah gedung sedangkan anak-anak yang lebih
tua akan ditempatkan pada pondok-pondok untuk menghindarkan mereka dari
keberisikan ulah anak-anak yang lebih muda. Mereka tidak diawasi dan dijaga,
mereka dibiarkan melakukan hal sesuka mereka seperti mengenakan pakaian sesuka
mereka tanpa adanya paksaan.
Konsep pembelajaran di Summerhill School yang membebaskan
semua siswa-siswinya dalam pembelajaran maupun berpakaian tak ayal
menjadikannya bahan pembicaraan yang hangat di kalayak ramai. Banyak orang yang
menyebutkan bahwa Summerhill School merupakan sekolah yang tidak kompeten dalam
mendidik anak, namun hal itu dapat dibantahkan oleh pemikiran dari Neill
sendiri.
“Summerhill mulanya
merupakan sekolah percobaan, tetapi sekarang tak demikian lagi. Kini sekolah
ini telah menjadi sekolah pembuktian, karena berhasil membuktikan bahwa
kebebasan dapat dipraktikkan – A. S. Neill (hal 42).”
Summerhill berupaya menciptakan sekolah yang membiarkan
anak-anaknya untuk bebas menjadi diri mereka sendiri. Sehingga tidak ada
ketertiban, arahan, anjuran, pengajaran moral maupun pengajaran agama yang
diterapkan disana. Yang dibutuhkan untuk menciptakan anak-anak yang bebas
adalah keyakinan bahwa anak-anak merupakan makhluk baik, yang memiliki sifat
sifat-bawaan bijaksana dan realitas yang nantinya tiap anak akan berkembang
sesuai dengan sifat-bawaaannya tersebut. Summerhill hanya tempat untuk
mengalokasikan sifat-sifat bawaan tersebut untuk lebih dimengerti tiap-tiap
anak.
Selain menerapkan praktek yang membebaskan Summerhill
juga menerapkan konsep swakelola, sekolah yang demokratis. Segala sesuatu yang
berkaitan dengan kehidupan bersama atau kelompok, termasuk hukuman akan
diputuskan melalui voting yang digelar pada Rapat Umum yang diadakan tiap malam
minggu. Di dalam rapat umum tersebut pemimpin adalah anak-anak dari Summerhill
yang akan dipilih secara acak. Hal ini dilakukan untuk memperkuat praktik
demokratis bahwa semua anak-anak dan staf yang mengajar memiliki posisi yang
sama dimata hukum (Rapat Umum).
“Tugas anak adalah
melakoni hidup dengan kehidupannya sendiri bukan menurut orang tuannya yang cemas, mesti dia jalani, bukan pula kehidupan
yang sesuai dengan tujuan ahli pendidikan yang merasa tahu apa yang terbaik
bagi anak. Semua campur tangan dan petunjuk orang dewasa ini hanya akan menghasilkan
generasi robot – A. S. Neill (hal. 56).”
Praktik Summerhill umumnya ingin menjadikan anak menjadi
pribadi yang mandiri yang sesuai degan sifat alamiah tiap anak tanpa harus
berpura-pura. Disana akan dikembangkan sifat-sifat dasar yang nantinya akan
berguna bagi anak-anak.
Latar Belakang Konsep Siswa
Ideal
Konsep sekolah formal yang
dahulu dipakai adalah sekolah yang mewajibkan siswa-siswinya untuk patuh pada
peratura yang telah dibuat. Sekolah yang menyuruh anak-anak aktif sekedar duduk
di bangku untuk mendengarkan pelajaran-pelajaran kurang berguna itu adalah
sekolah yang buruk. Sekolah semacam ini hanya baik bagi orang-orang yang
percaya pada kebaikan sekolah tersebut, yaitu bagi mereka yang kreatif dan
mengiginkan anak-anak mereka patuh terhadap segala aturan yang ada.
Umumnya sekolah yang seperti itu akan membebani anak-anak
dalam perkembangannya di masa pertumbuhan. Terlalu banyaknya pelajaran yang
mereka harus terima ditambah banyaknya aturan-atura sepele yang mengekang
mereka, membuat mereka merasa kesal dan terbebani dengan segala tuntutan yang
diarahka padanya. Hal itu sangat bertolak belakang dengan konsepsi aliran
filsafat progresivisme yang menganggap bahwa pendidikan harus terpusat pada
anak (child Centered) bukanya memfokuska pada guru atau bidang muatannya
(Sadulloh, 2014).
“Saat saya dan
istri pertama saya mulai mendirikan sekolah ini, kami hanya punya satu ide
pokok : membuat sekolah ini cocok dengan aak-anak- bukannya membuat anak-anak cocok
dengan sekolah – A. S. Neill (hal. 43).”
Keunggulan dan Kelemahan
Konsep Siswa Ideal
Setiap konsepsi penerapan
suatu aliran pendidikan pasti memiliki keunggulan dan kelemahan. Dan di dalam
Praktik Summerhill School ini, umunnya terdapat banyak keunggulan yang
diperoleh khususnya bagi para siswa yang belajar di Summerhill.
Kelebihan dari Summerhill School ini adalah mengetahui bahwa
anak-anak disini hidup bebas dan sehat karena kehidupan mereka tidak terkotori
oleh rasa takut dan benci (Neill, 2007: 42).
Terbukti dengan ketidakadaannya aturan atau tata tertib
yang harus mereka turuti serta tuntutan pelajaran yang harus mereka dengarkan
setiap harinya. Mereka hidup bebas dan sejahtera dengan cara mereka sendiri. Di
dalam Summerhill School banyak fasilitas memadai yang akan menunjang setiap
keterampilan yang dimiliki anak-anak. Antara lain bengkel kerja, kolam renang,
teater, laboratorium, ruang kesenian, alat musik, perpustakaan dan ladang.
Dengan adanya sarana yang menunjang diyakini bahwa anak-anak akan merasa nyaman
di dalam pembelajaran yang mereka lakukan dengan pemilihan sendiri tanpa adanya
unsur paksaan.
“Kami tak pernah
mendorong mereka mengerjakan apa pun, sungguh. Kami suka melihat mereka bermain
petualangan dan pertandingan-pertandingan khayalan – A. S. Neill (hal. 95).”
Inilah konsep pembelajaran yang menjadi keunggulan di
Summerhill School dimana anak-anak tidak dipaksa melakukan sesuatu yang mereka
tidak suka. Tapi mereka bisa melakukan dan memilih pelajaran yang mereka kuasai
dan sukai.
Kelemahan konsep siswa ideal menurut Summerhill sendiri
adalah adanya omongan-omongan dari orang-orang diluar Summerhill yang
menyebutkan bahwa praktik konsep ini menjadikan anak-anak tak terurus dan liar.
Koran-koran menyebutnya “sekolah sesukamu” yang
menyiratkan pengertian bahwa sekolah ini sekedar kumpulan anak primitif dan
liar yang tak kenal aturan dan tata krama (Neill, 2007: 42).
Kontekstualisasi Konsep
Siswa Summerhill terhadap Pendidikan Indonesia Sekarang
Penerapan konsep siswa yang ideal menurut Summerhill
umumnya sangat bagus jika diterapkan di Negara-negara maju yang pemahaman
tentang penerapan aturan dan pemberian materi pembelajaran tidak begitu ketat.
Namun jika konsep ini diterapkan di Indonesia senyatanya tidak akan begitu berhasil.
Karena sistem pendidikan di Indonesia yang menjunjung tinggi peraturan yang
telah dibuat untuk selalu dipatuhi serta sistem pengelolaan yang masih dipegang
oleh pemerintah pusat.
Umumnya siswa menurut pendidikan yang ada di Indonesia
harus mematuhi setiap aturan yang diberlakukan di sekolahnya yang menuntut
siswa tidak dapat bergerak bebas semau mereka. Pemilihan pembelajaran atau
materi yang diputuskan oleh dinas pendidikan tanpa menanyakan kesanganggupan
para siswa menerima materi tersebutpun- senyatanya sangat membebani siswa.
Mereka tidak bisa memanfaatkan masa anak-anak mereka untuk lebih banyak bermain
dari pada belajar,
Konsep belajar di summerhill yang mengajarkan siswa
belajar melalui setiap percobaan yang mereka lakukan bukannya dari materi yang
mereka dapatkan belum bisa diterapkan jika kurikulum dan sistem pendidikan di
Indonesia masih kaku dan mengacu pada hal-hal yang pada umumnya bersifat teori
daripada praktik.
“Kami di Summerhill
sengaja membiarkan anak-anak jadi diri mereka sendiri sehingga kita akan tahu
seperti apa senyatanya mereka. Inilah satu-satunya cara yang tepat dalam mengasuh
dan mendidik anak-anak – A. S. Neill (hal.123).”
Siswa yang ideal di Summerhill adalah anak-anak yang
melakukan apapun kegiatan yang mereka sukai selama mereka tidak merasa
terbebani senyatanya kurang tepat jika di terapkan di Indonesia sekarang ini.
Bukan berarti tidak bisa diterapkan namun belum bisa diterapkan karena sistem
pendidikan Indonesia yang masih terpaku pada teori dari kurikulum yang telah
dibuat oleh dinas terkait. Sehingga nantinya jika konsep siswa yang ideal
Summerhill ini diterapkan di Indonesia maka akan membuat masalah baru dengan tidak
diberlakukannya kurikulum yang kaku tersebut.
Penutup
Anak-anak merupakan makhluk
yang lahir dengan duniannya sendiri sehingga lingkungan disekitarnya terkdang
berusaha bagaimana agar dapat masuk ke dalam dunia anak, bukan anak yang harus
dan dipaksa masuk ke dunia orang dewasa yang tidak sesuai dengan anak-anak. Sedangkan
siswa merupakan salah satu komponen penting di dalam pendidikan. Senyatanya
anak-anak dan murid adalah sama. Mereka memiliki tugas sama yaitu belajar.
Namun kadang mereka harus dijejali dengan berbagai tuntuan materi yang wajib
mereka pahami atau serentetan rumus yang harus mereka hafal.
Hal itu menyebabkan terbentuknya siswa yang menanggu
beban materi yang banyak sehingga menyebabkan mereka kekurangan masa anak-anak
mereka untuk bermain. Mereka akan mengimplementasikan beban yang mereka anggap
berat itu ke dalam sifat-sifat yang negative dengan melawan aturan-aturan yang
telah dibuat atau membangkang dari tugas-tugas yang telah diberikan guru di
sekolah. Konsep siswa yang seperti itu sangatlah buruk bagi kelangsungan
pendidikan.
Salah satu konsep siswa yang ideal menurut Summerhill
adalah mereka (anak-anak) yang mampu menjadi diri mereka sendiri tanpa terikat
dengan aturan ataupun beban pelajaran yang harus mereka dengarkan setiap
harinya. Konsep ini menjadikan anak-anak pribadi yang kritis dan lebih percaya
diri dengan melakukan apapun yang menurut mereka kuasai sehingga menimbulkan
rasa bahagia di dalam hati mereka. Hal ini akan mendorong terbentuknya
siswa-siswi yang ideal yang akan dapat memajukan pendidikan.
Daftar Pustaka
Neill,
A. S. (2007). Summerhill School "Pendidikan Alternatif yang
Membebaskan". Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Sadulloh, Uyoh.
(2010). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar