Jurusan
Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Fakultas
Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
Tahun 2016
Pendahuluan
Pendidikan
merupakan rangkaian proses tanpa akhir untuk mendewasakan manusia baik secara
akal pikiran, fisik, dan mental. Pendidikan mengisyaratkan bahwa anak yang
terdidik dengan baik akan memberi warna kebaikan bagi dirinya sendiri,
keluarga, dan masyarakat. Kesadaran demikian itu sejatinya telah dipahami
masyarakat Indonesia, namun berbagai tantangan dan godaan dunia merontokan
benteng kepribadian.
Kemandiriran seorang
manusia dapat diraih melalui pendidikan yang baik pada tataran formal,
nonformal, dan informal. Kemandirian dapat dicapai melalui suatu proses panjang
yang berbasis pada pemahaman utuh terhadap realitas, untuk mengubahnya menjadi
suatu peradaban mulia yang menjunjung tinggi akal sehat dan menghormati
keanekaragaman dan perikemanusiaan. Pemahaman mengenai filsafat pada intinya
adalah memaknai hidup dengan menghargai orang lain dan lingkungannya. Namun,
kesadaran ini seolah luntur karena memahami filsafat sebatas dasar ilmu bukan
aplikasinya dalam kehidupan. Sosok kemandirian seorang manusia sesungguhnya
adalah karakter individu yang tergambar dalam pribadi dan perilakunya. Filsafat
mendasari gerak langkah kehidupan manusia dalam pendidikan dengan harapan dapat
mengembangkan kemandirian dan berimplikasi pada keteraturan dan kebaikan
disekitarnya. Filsafat diharapkan mendasari seluruh aspek pendidikan, karena
salah satu esensi yang terkandung didalamnya adalah kejujuran dan keadilan.
Seperti yang telah
diuraikan diatas, sebenarnya pendidikan dapat dilaksanakan dengan cara yang
bebas dan demokratis, tidak memaksa tetapi mengikat. Seperti halnya yang
tergambarkan dalam pendidikan yang dilakukan di Summerhill School, Inggris.
Gagasan-gagasan yang ada di Summerhill School yang membebaskan para peserta didiknya, dalam artian yang digagas oleh Neill bahwa sekolah bukanlah sesuatu yang formalistik, melainkan sekolah adalah melakukan sharing of knowledge. Melihat beberapa segi pengamatan dari elemen-elemen pendidikan yang ada di Summerhill School yang perlu dikupas kaitannya dengan filsafat pendidikan yang secara tidak langsung menjadi pembanding sistem pendidikan di sekolah-sekolah Indonesia maupun sekolah umum lainnya.
Gagasan-gagasan yang ada di Summerhill School yang membebaskan para peserta didiknya, dalam artian yang digagas oleh Neill bahwa sekolah bukanlah sesuatu yang formalistik, melainkan sekolah adalah melakukan sharing of knowledge. Melihat beberapa segi pengamatan dari elemen-elemen pendidikan yang ada di Summerhill School yang perlu dikupas kaitannya dengan filsafat pendidikan yang secara tidak langsung menjadi pembanding sistem pendidikan di sekolah-sekolah Indonesia maupun sekolah umum lainnya.
Beberapa konsepsi
pendidikan yang akan dijelaskan kaitannya dengan elemen-elemen pendidikan
diantaranya untuk mengetahui apa tujuan pendidikan di Summerhil school?
Bagaimana guru dan siswa ideal menurut Summerhill School? Bagaiamana cara
belajar dan media yang digunakan? Bagaimana bentuk penilaian dan sistem
kurikulumnya? Bagaimana tatakelola atau kebijakan administrasi di Summerhill
School?
Pembahasan
Summerhill School adalah sebuah sekolah
bebas dan berasrama untuk usia TK hingga SMA, yang didirikan oleh Alexander
Sutherland Neill pada 1921 di Jerman dan kemudian pindah ke Inggris. Sekolah
revolusioner ini mebebaskan siswa-siswinya hidup sesuka mereka selama tidak
mengganggu orang lain. Mereka bebas bermain-main sekehendak mereka setiap
harinya, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Mereka boleh ikut atau mangkir
dari pelajaran-pelajaran yang ditawarkan sekolah. Fasilitasnya pun komplet:
kolam renang, bengkel kerja, laboratorium, ruang kesenian, ruang teater, alat
musik, perpustakaan, dan ladang. Yang menjadi perhatian dari sekolah ini adalah
pada penerapan konsep pendidikan yang bebas dan demokratis, dalam artian sistem
pendidikan yang humanis dengan menawarkan proses pembelajaran yang berbeda
dengan sistem pendidikan yang dominatif atau pada sistem sekolah pada umumnya.
Selain pernyataan
diatas, juga dilansir dari buku karya Neill yang berjudul, A Radical Approach To Child Rearing, bahwa proses pembelajaran yang
dilakukan dikelas memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengenal dan
menangkap kehidupan yang senyatanya secara kritis. Pelajaran tidak direduksi
menjadi usaha membuat penyeragaman pikiran, perasaan, maupun perilaku. Dengan
demikian, pembelajaran dikelas merupakan proses pemberdayaan siswa melalui ilmu
pengetahuan.
“Kebebasan itu penting bagi anak-anak sebab hanya dengan kebebasan
mereka dapat tumbuh dan berkembang secara alamiah – A. S .Neill (hal 22)”.
Begitulah kalimat yang
dikutip dari buku Summerhil School –terjemahan. Penerapan kekuasaan bukan
sebagai sarana menekankan kebebasan belajar, tetapi justru sebagai pendorong
terjadinya penghargaan terhadap keberadaan siswa sebagai subjek didik yang
mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depannya secara kritis dan kreatif.
Pendidikan
Summerhill
merupakan salah satu lembaga pendidikan yang menganut aliran progresivisme.
Aliran progresivisme menyatakan bahwa pendidikan harus terpusat pada anak (child
centered) bukanya memfokuskan pada guru atau bidang muatan (Sadulloh, 2014: 143).
Artinya pendidikan itu yang terpenting adalah anak didik itu sendiri bukan
gurunya ataupun materi yang harus dipelajari. Mungkin aliran ini lebih mementingkan bagaimana
pembentukan karakter siswa ketimbang kemampuan siswa dalam memahami materi
pelajaran.
Kemudian didalam buku yang ditulis A.S. Neill
yang diterjemahkan oleh Agung Prihantoro, menyatakan bahwa salah satu definisi
pendidikan yaitu pendidikan sebagai pembentukan karakter dari dalam, bukan
karakter yang diimlakan ala eton, harrow dan sekolah-sekolah negeri (1992, hal.
347). Dengan adanya pernyataan tersebut, mungkin bisa dikatakan bahwa pendikan
merupakan sarana dalam pembentukan karakter dari tiap individu, dan karakter
yang terbentuk memang berasal dari diri individu bukan karena pengaruh dari
luar.
Tujuan pendidikan
Sekolah membebaskan
adalah sebuah potret penyelenggaraan pendidikan yang berpedoman pada proses
pembelajaran dalam kelas yang menjadikan ruangan kelas itu sebagai dialog
kritis dan transformatif. Sekolah yang membebaskan sesungguhnya berawal dari
sebuah tesis bahwa kita semua belajar karena memang tidak tahu, kita belajar
karena ada keinginan untuk berubah dari awalnya tidak tahu, kita belajar karena
ada sebuah tekad sekaligus komitmen untuk melakukan perbaikan-perbaikan diri.
“Saat saya dan istri pertama saya mulai mendirikan sekolah ini, kami
punya satu ide pokok membuat sekolah ini cocok dengan anak-anak, bukannya
membuat anak-anak cocok dengan sekolah (hal 43).
Kalau kita berusaha
jujur atas makna sesungguhnya dari adanya sekolah, sebenarnya pendidikan adalah
media dalam melakukan proses belajar mengajar, yang pada intinya adalah sebuah
transformasi nilai atas siswa atau masyarakat secara umum. Jika kita pahami
sebenarnya fungsi pendidikan yang paling vital adalah menggugah kesadaran
kritis siswanya sehingga memberikan kedewasaan berpikir logis dan mampu membaca
secara kritis terhadap perkembangan sekitarnya. Dalam tahap yang lebih jauh,
mampu memerdekakan dirinya dari belenggu dirinya sendiri dan adat istiadat.
“inilah yang menjadikan saya tertarik pada penyembuhan alami, yang
tampaknya selaras dengan filosofi pendidikan saya”(hal 188).
Artinya secara tidak
langsung Neill memiliki filosofi pendidikan untuk melakukan pendidikan secara
alami dengan membiarkan anak-anak menentukan kebebasan alamiahnya. Persoalannya
adalah sekolah sudah tidak mampu melakukan ini. Sekolah yang membebaskan dan
memerdekakan anak didik ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Sekolah
masih menggunakan tangan-tangan besi dalam memperlakukan siswanya. Mereka yang
nakal dengan alasan-alasan tertentu kemudian divonis sebagai seseorang yang
tidak akan mampu menggapai masa depan yang lebih baik. Mereka yang tidak mampu
memahami apa yang disampaikan gurunya saat kelas dilangsungkan dengan sedimikan
rupa kemudian dianggap memang tidak akan bisa berbuat apapun yang terbaik bagi
diri dan sesamanya.
“Kami
di Summerhill sengaja membiarkan anak-anak jadi diri mereka sendiri sehingga
kita akan tahu seperti apa senyatanya mereka (hal 123).”
Sekolah dalam konteks
tersebut menjadi media yang memenjarakan anak didik dalam belajar. Mereka yang
nakal, malas, mengalami sisi lemah dalam menyerap penjelasan guru dipandang
sebagai kelompok anak didik yang sudah selayaknya dibuang dengan sedemikian
jauh, dilakukan diskriminasi pelayanan sekolah dan begitu seterusnya. Sekolah
bukan lagi mencoba memberikan kebebasan kepada mereka
supaya melakukan aktualisasi diri selama itu bisa produktif, konstruktif, dan positif
bagi kepentingan dirinya dan hari esok.
“Pendidikan
harus menghasilkan anak-anak sebagai individu sekaligus anggota masyarakat (hal
36).”
Sekolah
yang membebaskan kemudian harus bisa memiliki prinsip-prinsip sedemikian sebab
sekolah disebut mampu mengantarkan siswa menjadi subjek yang berpandangan luas
dan terbuka kedepannya bila mereka mampu melewati batas-batas kehidupan
normalitas.
Guru
yang ideal
Menurut Neill, profesi guru
berkaitan dengan bakat dan minat, tidak bisa dicetak. Guru ideal adalah guru
yang selalu memberikan kasih sayang, bukan semata teori.
"Memeluk anak lebih bermanfaat dibandingkan
menafsirkan mimpi-mimpinya".
Artinya, lebih baik langsung
memberikan terapi atau penyembuhan dari pada berkutat pada membaca kepribadian
anak, menganalisis gambar-gambarnya, dan lain sebagainya. Menganalisis
kepribadian anak tidak akan berarti apa-apa tanpa tindak lanjut yang jelas.
Guru yang baik juga guru yang mampu
mendorong daya imajinasi anak. Sehingga ketika anak mendapatkan tugas
mengarang, judul yang mereka tulis bukanlah "Liburanku", atau
"Pergi ke Rumah Nenek". Neill mencontohkan murid-muridnya yang
memilih judul unik untuk karangannya seperti "Gigi Palsuku Jatuh di
Piring", atau "Perjalanan Seekor Bekicot dari Pintu Kelas ke Pintu
Gerbang Sekolah". Menyiksa anak dengan PR juga merupakan tindakan
kriminal.
"Militer barangkali memang
butuh otoritas, tetapi tak seorang pun -kecuali manusia konservative dibil-
akan mengatakan bahwa kehidupan militer adalah teladan atau model bagi seluruh
kehidupan manusia". -A.S Neill (hal 33).
Guru sebagai pihak yang
paling dekat dengan anak didiknya perlu mengarahkan berbagai hal dan perilaku
dengan sedemikian rupa. Guru perlu melakukan berbagai usaha dasar dan kritis
agar anak didiknya kemudian tergerak keinginannya untuk melakukan sesuatu hal
yang terbaik bagi mereka dimasa mendatang. Guru janganlah menempatkan anak
didiknya sebagai budak yang kemudian harus dimarahi, digertak, dan disalahkan
karena telah melakukan kesalahan-kesalahan tertentu. Guru bukanlah melakukan
perbuatan-perbuatan sedemikian rupa sebab semakin melakukan hal tersebut, ini
akan semakin menciptakan rasa takut pada anak didik sehingga mereka mengalami
rasa tertekan dan terancam dalam kehidupan serta hidupnya. Guru adalah sosok
yang harus memberikan suri tauladan bagi anak didiknya dengan berbagai
contoh-contoh hidup serta kehidupan yang selanjutnya dapat diikuti oleh semua
anak didiknya.
Oleh karena itu, guru
harus memerankan diri sebagai sesorang yang mampu menciptakan perubahan dan dinamika
baru yang berguna bagi semua. Anak didik sebagai tanggung jawab besar seorang
pendidik dalam mendidik kemudian perlu diberikan cara-cara yang inovatif dan
inspiratif agar bakat dan minatnya kemudian bisa tergali dengan sedemikian
rupa, selalu menjadi anak yang dapat melahirkan prestasi-prestasi membanggakan
bagi semua.
Siswa ideal
Anak merupakan seorang
makhluk yang lahir dengan dunianya sendiri sehingga lingkungannya terkadang
berusaha agar bagaimana bisa masuk dalam dunia anak, bukan anak yang harus dan
dipaksa untuk masuk dalam dunia orang tua sekaligus pendidik. Ini merupakan
sebuah kesalahan besar. Anak juga merupakan manusia muda dan remaja yang sedang
memerlukan tuntunan dan panduan dari yang lebih tua atau dewasa. Ketika
selanjutnya anak menunjukan hal-hal aneh dalam kehidupannya, maka orang tua dan
pendidik harus jeli, cermat dan kritis membaca keadaan tersebut. Orang tua dan
pendidik harus bisa menangkap maksud dari gerak-gerik yang diperlihatkan anak.
Anak memang selalu mencari-cari hal baru yang terkadang mereka lakukan
berdasarkan hasil peniruan dari yang dilihat sebelumnya.
“Tugas
anak adalah melakoni hidup dengan kehidupannya sendiri bukan menurut orang
tuanya yang cemas, mesti dia jalani, bukan pula kehidupan yang sesuai dengan
tujuan ahli pendidikan yang merasa tahu apa yang terbaik bagi anak. Semua
campur tangan dan petunjuk orang dewasa ini hanya akan menghasilkan generasi
robot (hal 56).”
Anak sekali lagi
memiliki cara pandang berbeda dalam bertindak dan berpikir sehingga dengan demikian
mereka selanjutnya harus diperlakukan secara berbeda. Perlakuan yang berbeda
dalam konteks ini adalah bagaimana orang tua dan pendidikan disekolah lebih
bijaksana merespon kebutuhan anak, bukan selanjutnya memaksa anak agar sesuai
dengan kebutuhan dan kepentingan orang tua sekaligus pendidik. Masyarakat dalam
konteks luas hanya sebatas memfasilitasi agar mereka kemudian lebih berkembang,
mampu melakukan aktualisasi diri agar bisa menunjukan identitasnya yang maju
kedepan.
Cara belajar
Pembelajaran pada
pokoknya haruslah aktif dan bukannya pasif. Pengajar/guru yang efektif memberi
siswa pengalaman-pengalaman yang memungkinkan mereka belajar dengan melakukan
kegiatan.
“Kami
tak memiliki metode pengajaran yang baru, lantaran kami memandang pengajaran
itu tak terlalu penting. Tidak signifikan apakah pembagian bertingkat dalam
matematika diajarkan dengan metode pengajaran khusus atau biasa, pasalnya
pembagian bertingkat itu tidak penting kecuali bagi anak yang ingin
mempelajarinya (hal 45).”
Dari pernyataan
tersebut bukan berarti pendidikan di Summerhill School tidak memiliki cara
belajar atau metode dalam melaksanakan pembelajaran. Hanya saja metode
pembelajaran diangga tidak terlalu penting bahkan berimbas langsung terhadap
siswanya.
“Anak-anak
boleh mengikuti pelajaran itu, atau boleh tak mengikutinya, kalau perlu selama
bertahun-tahun, sesuka mereka. Jadwal pelajaran tetap ada tetapi hanya
ditentukan untuk para guru (hal 44).”
“Kami
di Summerhill sengaja membiarkan anak-anak jadi diri mereka sendiri sehingga
kita akan tahu seperti apa senyatanya mereka (hal 123).”
Kurikulum
Sebuah penyelenggaraan
pendidikan disebut baik, positif dan memberikan kontribusi penting sekaligus
signifikan ketika ia mampu menjawab kebutuhan serta persoalan-persoalan
masyarakat setempat. Kurikulum yang dijalankan dengan segala anak pinaknya
bukan diproduksi dari atas (pemerintah pusat) dan selanjutnya diturunkan ke
bawah sehingga masyarakat kemudian harus menikmatinya. Jimmy Oentoro
mengatakan, kurikulum harus berdiferensi dalam pengertian memberikan pelayanan
terhadap perbedaan dalam minat dan kemampuan peserta didik. Dalam memberlakukan
kurikulum yan berbeda terhadap peserta didik yang mempunyai potensi
keberbakatan yang tinggi, guru dapat merencanakan dan menyiapkan materi yang
lebih kompleks, menyiapkan bahan ajar yang berbeda atau mencari penempatan
alternatif bagi siswa sehingga setiap peserta didik dapat belajar menurut
kecepatannya sendiri. Kontekstualisasi menolak penyeragaman jenis, tingkat dan
materi kurikulum untuk seluruh sekolah dimana pun lokasinya karena berakibat
pada penyeragaman kualitas dan wawasan manusia.
“Kami
tak menyelenggarakan ujian kelas, tetapi adakalanya saya memberikan tes untuk
iseng belaka (hal 47).”
Media Pembelajaran
Di dalam buku
A.S. Neill yang diterjemahkan oleh Agung Prihantoro memang tidak dijelaskan
secara langsung mengenai bagaimana media yang digunakan dalam pembelajaran,
namun penulis disini akan mencoba menyimpulkan dari sumber yang telah didapat.
Dan penulis
menyimpulkan bahwa media pembelajaran di Summerhill disesuaikan dengan bidang
minat dari siswa. Siswa yang menyukai bidang perbengkelan di Summerhill juga
menyediakan bengkel untuk siswa untuk mengembangkan bakatnya dalam bidang
perbengkelan. Bisa dikatakan bahwa fasilitas bengkel disini menjadi media anak
dalam mengekspresikan dan mengembangkan hobinya dalam bidang perbengkelan. Begitupun juga dengan fasilitas yang lainya,
fasilitas tersebut menjadi media dalam pengembangan bakat anak.
“Sebagian lagi berkutat di di bengkel kerja,
memperbaiki sepeda-sepeda mereka, membuat kapal atau pistol mainan” Neill (1992, hal. 50).
Begitupun juga dengan anak yang memiliki hobi
lain, summerhill akan memberikan fasilitas yang dijadikan media untuk
mengembangkan apa yang disukai anak. Anak- anak yang memiliki hobi dalam bidang
kesenian, Summerhill menyediakan ruang kesenian.
“Anak-anak usia menengah senang beraktivitas di ruang
kesenian- melukis, membuat linoleum, mengolah kulit, membuat keranjang” Neill (1992, hal. 51).
Kebijakan
Seperti
sekolah-sekolah pada umumnya yang memiliki kebijakan yang mengatur dalam
pelaksanaan kegiatan-kegiatan pendidikan, Summerhill juga memiliki kebijakan
sendiri yang bisa dikatakan berbeda dengan sekolah lainya, karena di Summerhill
kebijakan diputuskan bersama-sama seluruh warga di Summerhil tanpa memandang
perbedaan latarbelakang dari setiap individu.
‘”Setiap anggota staf sekolah (termasuk wali
asrama) dan setiap anak, berapapun usianya, mengantongi satu hak suara. Hak
suara saya sama bobotnya dengan hak suara murid umur tujuh tahun” Neill (1992,
hal. 57).
Pembuatan kebijakan
biasa disebut “rapat umum” yang dilaksanakan pada malam minggu, dan apa yang
dibahas mengenai sesuatu yang bertalian dengan kehidupan bersama atau kelompok,
dan menghindari diskusi hal-hal yang berbau akademis. Dalam pelaksanaan rapat
dipimpin oleh satu orang secara bergiliran, dan jabatan sekretaris ditawarkan
secara sukarela.
Dengan itu, maka
dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang baik adalah kebijakan yang dirumuskan
bersama-sama tanpa memperdulikan latarbelakang individu yang berbeda.
Manajemen yang ideal
Pengelolaan di
Summerhill berbentuk swakelola, artinya pengelolaan dilakukan secara bersama oleh
semua anggota yang ada dalam komunitas summerhill. Dan di Summerhill dalam
pengelolaan pendidikan tidak mengenal adanya birokrasi.
“Praktik swakelola
Summerhill tak kenal birokrasi” Neill (1992, hal. 59).
Dengan adanya
pernyataan tersebut bisa kita simpulkan bahwa manajemen yang ideal adalah yang
dalam pengelolaan pendidikannya melibatkan semua anggota dan tidak mengenal
yang namanya birokrat.
Penilaian
Berbeda dengan
sekolah pada umumnya yang menyelenggarakan ujian kelas yang isi tesnya mengenai
materi pelajaran, Summerhil menyelenggarakan tes hanya untuk iseng belaka, yang
mana pertanyaannya merupakan pertanyaan yang mungkin tak perlu dijawab.
Pertanyaan tersebut seperti, “dimana obeng
saku saya?” Neill (1992, hal. 47).
“Menurut pendapat saya, rapat umum mingguan lebih
penting ketimbang pelajaran selama satu minggu” Neill (1992, hal. 87).
Dengan adanya
pernyataan itu maka bisa kita katakan bahwa dalam hal penilaian ataupun
evaluasi mengenai materi pelajaran, summerhill tidak begitu memperhatikan.
Namun Summerhill lebih memperhatikan evaluasi dalam hal-hal di luar lingkungan
kelas, yang mana evaluasi tersebut dilakukan pada saat rapat umum. Sebagaimana
ditunjukan dalam bukunya A.S. Neill yang diterjemahkan oleh Agung Prihantoro
bahwa sebagian besar yang dibahas dalam rapat umum adalah hal-hal di luar
kelas, bukan pelajaran (1992, hal. 72).
Berarti
penilaian yang ideal menurut summerhill adalah penilaian bukan dalam hal materi
pelajaran, namun dalam hal tingkah laku sehari-hari para anggota komunitas.
Kontekstualisasi dengan
Pendidikan di Indonesia
Summerhills
merupakan sekolah yang membebaskan murid-muridnya dalam hal pembelajarannya. Di
dalam summerhill siswa diberi pilihan untuk mengikuti pelajaran ataupun tidak
mengikuti pembelajaran. Tidak ada paksaan bagi para murid untuk mentaati aturan
yang telah dibuat. Para murid boleh melakukan apapun yang mereka inginkan.
Disana pembelajaran tidak selalu dilakukan didalam kelas. Pembelajaran yang
dilakukan.
Referensi
Neill,
A. S. (2007). Summerhill School "Pendidikan Alternatif yang
Membebaskan". Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Sadulloh, Uyoh.
(2010). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar